Sabtu, 02 Februari 2013

Mengusung Islam Moderat


Terjadinya keragaman dalam pemahaman keagamaan adalah sebuah fakta sejarah dalam Islam. Keragaman tersebut, salah satunya, disebabkan oleh dialektika antara teks dan realitas itu sendiri, dan cara pandang terhadap posisi akal dan wahyu dalam menyelesaikan satu masalah. Konsekuensi logis dari kenyataan tersebut adalah munculnya terma-terma yang mengikut di belakang kata Islam. Sebut misalanya, Islam Fundamental, Islam Liberal, Islam Progresif, Islam Moderat, dan masih banyak label yang lain.
Islam pada dasarnya adalah agama universal, tidak terkotak-kotak oleh label tertentu, hanya saja, cara pemahaman terhadap agama Islam itu kemudian menghasilkan terma seperti di atas. Diterima atau tidak, itulah fakta yang ada dewasa ini yang mempunyai akar sejarah yang kuat dalam khazanah Islam. Fakta sejarah menyatakan bahwa embrio keberagamaan tersebut sudah ada sejak era Rasulullah saw., yang kemudian semakin berkembang pada era sahabat, terlebih khusus pada era Umar bin Khattab. Ia kerap kali berbeda pandangan dengan sahabat-sahabat yang lain, bahkan mengeluarkan ijtihad yang secara sepintas bertentangan dengan keputusan hukum yang ditetapkan oleh Rasululullah saw. sendiri. Sebutlah misalnya, tidak membagikan harta rampasan kepada umat Islam demi kemaslahatan umum (negara), yang jelas-jelas sebelumnya dibagikan oleh Rasulullah melalui perintah teks Al-Qur’an (QS. Al-Anfal (8): 41).
Terus bagaimana seharusnya menyikapi kenyataan tersebut? Bagaimana cara beragama yang paling baik dan ideal, khususnya di bumi Indonesia?
Tulisan ini tidak bertujuan untuk mengklaim kebenaran satu cara pandang beragama dan menyalahkan cara yang lain. Sekali lagi, keberagamaan itu adalah sebuah kemestian. Namun tulisan ini mencoba untuk melihat dampak dan pengaruh cara pandang tersebut terhadap kondisi keberagamaan umat Islam, khususnya di Nusantara.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa keberagaman dalam beragama disebabkan oleh cara memosisikan akal dan wahyu, realitas dan teks dalam menyelesaikan satu masalah. Kelompok yang memberikan porsi berlebihan pada teks, namun menutup mata dari perkembangan realitas cenderung menghasilkan pemahaman yang tekstual. Semangat penerapan hukum-hukum agama dalam kondisi apapun sangat besar sekali. Apa yang tertera dalam teks (Al-Qur’an dan Hadis) harus aplikasikan dalam dewasa ini, sebagai  bentuk ittiba’ kepada orang salaf (Rasulullah, sahabat, dan tabiin), meski dalam kondisi tertentu kurang mengapresiasi realitas sosial kemasyarakatan yang ada.
Sebaliknya, ada sebagian kelompok terlalu memberikan porsi lebih pada akal atau realitas dalam memahami sebuah permasalahan. Sehingga, dalam pengambilan sebuah keputusan, kelompok ini justru sangat menekankan pada realitas dan memberikan ruang yang bebas terhadap akal. Yang terjadi adalah sebaliknya, kelompok ini sangat konstekstual dan terkadang kurang mempertimbangkan otoritas teks. Keduanya hadir pada posisi berlebihan.
Pengaruh dua kecenderungan pemahaman di atas pun berdampak luar biasa pada cara beragama umat Islam dewasa ini. Munculnya gerakan-gerakan anarkis dan ekstrim di Nusantara, misalnya pembunuhan, bom bunuh diri, selain disebabkan oleh alasan politik-ekonomi, juga dipengaruhi oleh cara pandang yang sangat tekstual terhadap Al-Qur’an dan Hadis. Sebaliknya, kebebasan akal yang berlebihan dan tanpa batas acapkali berujung pada penabrakan teks-teks yang Qat’i, yang pada akhirnya dengan gegabah menawarkan pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan pemahaman yang sudah mapan. Bahkan terkadang mencoba mengotak-atik ajaran-ajaran fundamental yang bersifat ta’abbudi (Ilahi) dengan dalih asas kebebasan dan  kemanusiaan.
Ilustrasi di atas menandaskan bahwa kedua cara pandang tersebut sama-sama berada pada titik ekstrim dan over. Dampaknya pun sama-sama ekstrim; kelompok pertama bentuk ekstrimnya tampak dan nyata dalam gerakan yang berujung pada anarkisme yang menganggu kenyamanan masyarakat bahkan stabilitas keamanan nasional. Di sisi lain, kelompok overkontekstual, berada pada bentuk ektrim yang lain. Ia lebih lembut, namun tak kalah besar pengaruhnya dalam masyarakat. Karena dapat mengaburkan ajaran-ajaran agama yang sangat mendasar, yang absolut kemudian berubah menjadi relatif. Tidak ada kemudian ulama dan institusi yang dipercaya bisa mengeluarkan fatwa. Semuanya bebas berijtihad tanpa mempersoalkan background pendidikannya.
Dengan demikian, kedua cara pandang beragama di atas kurang ideal, khususnya dalam konteks keindonesaan. Alasannya sangat sederhana, Islam adalah agama rahmat seluruh alam semesta. Agama rahmat tidak berada pada titik ekstrim dan over (berlebihan: tatharruf). Islam selalu hadir dengan solusi representatif yang dapat diterima oleh akal sehat dan fitrah manusia, karena Islam adalah agama fitrah.
Maka dari itu, pemahaman yang berada di tengah kedua corak pemahaman di atas menjadi sebuah kemestian, apalagi dalam konteks keindonesiaan yang sangat mejemuk. Pemahaman yang berada di tengah-tengah sebenarnya menjadi esensi agama Islam itu sendiri. Dalam sejarahnya, agama Islam datang sebagai penyeimbang agama-agama sebelumnya; agama Yahudi dan Nasrani. Agama Yahudi berada pada titik yang sangat keras, sebaliknya agama Nasrani berada pada titik yang sangat lembek. Dalam kasus qisas, agama Yahudi menyatakan jika seorang ditampar sekali, maka dia harus membalas dua kali tamparan. Sebaliknya dalam agama Kristen, jika seorang ditampar pipi kanannya maka ia dianjurkan memberikan pipi kirinya untuk ditampar lagi. Beda halnya dalam Islam, kasus qisas, misalnya membunuh seorang maka dia juga harus dibunuh sebagai qisas (balasan sepadan), tapi memaafkan pelaku adalah sikap yang lebih baik. Demikian bentuk kemoderatan Islam.
Islam Moderat sebagai Pilihan
Kata moderat dalam bahasa Arab dikenal dengan al-wasathiyah.  Dalam Al-Qur’an merupakan kata yang terekam dari QS. al-Baqarah(2): 143. Kata al-Wasath dalam ayat tersebut, bermakna terbaik dan paling sempurna. Dalam hadis yang sangat populer juga disebutkan bahwa sebaik-baik persoalan adalah yang berada di tengah-tengah. Dalam artian dalam melihat dan menyelesaikan satu persoalan, Islam moderat mencoba melakukan pendekatan kompromi dan berada di tengah-tengah, begitupula dalam menyikapi sebuah perbedaan, baik perbedaan agama ataupun mazhab, Islam moderat selalu mengedepankan sikap toleransi, saling menghargai, dengan tetap meyakini kebenaran keyakinan masing-masing agama dan mazhab. Sehingga semua dapat menerima keputusan dengan kepala dingin, tanpa harus terlibat dalam aksi yang anarkis.
Oleh karena itu, paham Islam Moderat merupakan ajaran yang mesti dibumikan di Nusantara. Ia sangat representatif memberikan jawaban dan solusi terhadap seluruh permasalahan yang dihadapi umat Islam dewasa ini. Ia tidak terlalu ekstrim ke kanan, dalam hal ini overtekstual, tapi juga tidak terlalu ekstrim ke kiri, dalam artian overkonstekstual. Islam moderat selalu mengedepankan keseimbangan antara teks dan konteks, antara wahyu dan akal. Karena keduanya adalah kebenaran yang bersumber dari Tuhan. Mengabaikan salah satunya berarti meninggalkan sebagian kebenaran Tuhan.
Kemoderatan Islam tersebut kemudian terekam juga dalam berbagai disiplin ilmu; akidah, fiqh, tafsir, pemikiran, tasawwuf dan dakwah. Dalam ilmu akidah (teologi), Islam Moderat direpsentasikan oleh aliran al-Asy’ariyah. Aliran yang menengahi antara Muktazilah yang sangat rasional dengan Salafiah dan Hanabilah yang sangat tekstual. Keduanya sama-sama berada pada titik “ekstrim”. Rasionalitas yang berlebihan acapkali mengaburkan kejernihan akidah Islam, sebaliknya tekstualitas yang berlebihan bisa saja menyebabkan kejumudan dalam berijtihad.
Begitupula dalam ilmu syariah, kemoderatan Islam pun harus digalakkan. Dalam hal ini, dialektika antara teks dan realitas selalu berjalan lurus dalam mengeluarkan sebuah hukum, karena maksud Tuhan yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Hadis tak pernah bersebrangan dengan kemaslahatan umat manusia. Karenanya, kontekstualisasi, subtansialisasi dan rasionalisasi teks menjadi penting dalam proses berijtihad.
Hal yang sama juga terjadi dalam ilmu tafsir, seorang penafsir harus mengkontekstualkan Al-Qur’an dengan dirinya sendiri, dalam artian, menemukan makna asli teks melalui kajian bahasa dan sebab turun ayat serta kondisi kemasyarakatan secara umum pada saat turunnya sebuah ayat. Sementara langkah kedua, yaitu mengkontekstualkan Al-Qur’an dengan dunia kontemporer dewasa ini. Dalam hal itu, makna asli teks Al-Qur’an dihubungkan dengan konteks sekarang melalui langkah rasionalisasi. Dengan prinsip ini, penafsiran Al-Qur’an tidak kaku karena mempertautkan dengan realitas sekarang, dan juga tidak terlalu liberal karena tetap berangkat dari pemahaman yang kuat terhadap makna asli teks Al-Qur’an.
Sementara, sisi kemoderatan dalam pemikiran Islam adalah mengedepankan sikap toleran dalam perbedaan. Keterbukaan menerima keberagamaan (red:inklusivisme). Baik beragam dalam mazhab maupun beragam dalam beragama. Perbedaan tidak menghalangi untuk menjalin kerja sama, dengan asas kemanusiaan. Meyakini agama Islam yang paling benar, tidak berarti harus melecehkan agama orang lain. Sehingga akan terjadilah persaudaraan dan persatuan anatar agama, sebagaimana yang pernah terjadi di Madinah di bawah komando Rasulullah Saw.
Selain di atas, Islam Moderat juga nampak dalam wilayah Tasawwuf. Dalam pada itu, konsep ajaran esoterik yang termanifestasi dalam spritual sufistik tidak berarti negatif sebagaimana banyak dipahami orang, seperti kekumuhan, kekurangan, kemiskinan dan lain-lain, tapi sufi moderat adalah orang yang selalu menghadirkan nilai-nilai ketuhanan dalam tiap langkahnya. Praktik kehidupan spiritualitas sufistik moderat adalah membangun kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan yaitu; kebahagiaan qalbiyah yakni dengan makrifatullah melalui akhlak karimah, serta kebahagian jasminiah dengan kesehatan serta pemenuhan kebutuhan yang bersifat material.
Terakhir adalah moderat dalam dakwah Islamiyah. Berdakwah dengan penuh hikmah. Tidak melakukan kekerasan, mengganggu ketertiban apalagi pembakaran terhadap fasilitas umum dan membunuh orang yang tidak bersalah. Selalu mengedepankan pendekatan persuasif dan kompromi dengan seruan yang menggembirakan. Singkatnya, berdakwah harus tegas, namun tidak mengedepankan kekerasan. Tidak boleh juga terlalu lembek sehingga agama Allah diinjak-injak dan disepelekan oleh pihak-pihak tertentu yang menaruh kebencian pada Islam.
Pada akhirnya, beragama dengan paham Islam Moderat menemukan dunianya di Nusantara. Siap menerima orang lain dalam kesamaan dan perbedaan. Toleran dengan agama lain, dengan tetap meyakini kebenaran agama Islam. Berkaitan dengan jargon Moderasi ini, Ikatan Cendikiawan Alumni Timur Tengah (ICATT) akan mengadakan Seminar Nasional dengan Tema “Merajut Islam Moderat; Upaya Pembumian Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin di Nusantara”. Pembicara yang hadir dalam acara ini, Prof. Dr. H.M. Qasim Mathar, MA. (Guru Besar Pemikiran UIN Alauddin Makassar), Dr. H. Abd. Rauf Amin, MA. (Doktor Usul Fiqh Universitas Al-Azhar Mesir), H. Muhammad Zaitun Rasmin, Lc (Ketua Umum DPP Wahdah Islamiyah Pusat) dan Dr. Lukman Arake, MA. (Doktor Politik Islam Universitas Al-Azhar Mesir). Seminar ini terbuka untuk umum dan akan dilaksanakan di Hotel UIN Alauddin pada hari Sabtu, 12 Mei 2012 dimulai pada pukul 08.30. (Darlis Dawing)

SEJARAH UNIV. AL-AZHAR AL-SYARIF KAIRO MESIR


Berdirinya Al Azhar
Dalam sejarah dunia keilmuan, Al Azhar merupakan Universitas tertua, tidak hanya di dunia Islam, namun juga di seluruh dunia. Hal itu karena universitas-universitas di Amerika dan Eropa baru didirikan dua abad setelah berdirinya Al Azhar, seperti Universitas Paris didirikan pada abad ke-12 Masehi, Universitas Oxford di Inggris pada abad ke-13, demikian juga universitas-universitas Eropa lainnya. Universitas yang mengimbangi Al Azhar dari segi sejarahnya adalah Universitas Qairawan di Kota Fez, Maroko. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Jami’ Al Qairawan adalah Universitas tertua di dunia, karena pengajarannya sudah bermula sejak didirikannya, yaitu sejak tahun 245 H./ 859 M., dan sampai sekarang masih eksis. Ketika Maroko merdeka tahun 1956 M., Jami’ Al Qairawan ditetapkan menjadi universitas yang terdiri dari tiga fakultas: Fakultas sastra, syari’ah dan ilmu pengetahuan umum. Kalaupun Jami’ Al Qairawan adalah Universitas tertua di dunia, tapi Al Azhar merupakan Universitas pertama yang para pengajarnya didanai oleh negara. Di samping letak Mesir yang strategis ditengah dunia Islam, menjadikan Al Azhar tempat tujuan menimba ilmu agama dari para masyaikh-nya. Hanya saja, besarnya kedudukan Al Azhar bukan karena tertua atau tidaknya, tapi lebih karena besar peran yang dijalankan dalam menjaga kemurnian ilmu-ilmu agama, peradaban Islam dan bahasa arab sebagai bahasa Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti yang disebutkan oleh Muhammad Kamal As Sayid Muhammad dalam bukunyaAl Azhar Jami’an wa Jami’atan Aw Al Azhar fi Alfi ‘Am.
Al Azhar adalah sebuah masjid sekaligus universitas di kota Kairo yang dibangun oleh Jauhar Al Katib As Shaqly (Ilyas Ash Shaqly, panglima tentara Abu Tamim) setahun setelah Dinasti Fatimiyah menaklukkan Mesir. Hal itu langsung dilakukan setelah mereka mendirikan Markas Kerajaan baru (kota Kairo didirikan pada Jumadil 'Ula tahun 259 H./ Maret 873 M. Al Azhar didirikan pada bulan Ramadan tahun 361 H./ Juni 875 M.), kemudian bangunan ini langsung dipergunakan sebagai tempat shalat. Masjid ini dibangun di sebelah Tenggara kota Kairo, berdekatan dengan Istana Megah yang waktu itu berada diantara daerah Ad Dailam sebelah timur dan daerah At Turk sebelah selatan.
Al Azhar adalah masjid Jami' pertama yang dibangun di Kairo. Pada saat dibangun, ia berbentuk satu bangunan yang terbuka di tengahnya (dalam bahasa Arab disebut "Shahn", meniru arsitektur Masjidil Haram), di dalamnya ada 3 ruwaq (ruang khusus yang dipergunakan untuk kegiatan belajar mengajar ataupun penampungan pelajar), yang terbesar adalah Ruwaq Al Qiblah. Masa itu luasnya hanya setengah dari luas bangunan sekarang.
Jauhar menorehkan tulisan relief di sekitar Kubah yang bertahunkan 360 H., tulisan lengkap nashnya bisa diketahui dalam tulisan Al Maqrizi (Al Khattat, jld. Ii, hal. 273, baris 24-26). Sejak saat itu pahatan tersebut menghilang. Para penguasa Bani Fatimiyah kemudian memperluas bangunan masjid dan menetapkan wakaf khusus untuk proses pembangunannya. Seperti yang dilakukan oleh Al Aziz Nazzar (365-386 H./ 976-996 M.) yang menjadikan Al Azhar sebagai Akademi Keilmuan dan membangun tempat tinggal yang bisa menampung sebanyak 35 orang bagi pelajar kurang mampu.
Diceritakan bahwa pada bangunan pertama masjid ini terdapat relief burung-burung yang terpahat pada puncak tiga tiang yang berfungsi untuk menjaga agar jangan sampai burung-burung bersarang di situ. Ketika Al Hakim Bi Amrillah berkuasa (386-411 H./ 996-1020 M.), ia memperluas bangunan masjid dan mengkhususkan wakaf untuk proses pembangunan dan bangunan lainnya. Hal ini juga disampaikan oleh Al Maqrizi ketika ia menceritakan peristiwa yang terjadi pada tahun 400 H. Pada tahun 519 H., Al Amir membuat mihrab di dalamnya yang kemudian dihiasi dengan ukiran-ukiran kayu. Ukiran-ukiran itu masih tersimpan rapi di Darul Atsar Al 'Arabiyah (Pusat Peninggalan Bersejarah Arab) di Kairo.
Nama Al Azhar berhubungan erat dengan Dinasti Fatimiyah yang mendirikannya. Disebutkan bahwa Al Azhar sebagai simbol bagi Sayidah Fatimah Azzahra Radhiyallahu 'Anha putri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seperti dapat dilihat dari salah satu koridor Al Azhar diberi nama Fatimah Radhiyallahu 'Anha. Dinasti Fatimiyah mulanya adalah Dinasti Syi'ah Bathiniyah yang berusaha untuk menyebarkan ajarannya dengan pertama kali mendirikan Masjid Al Azhar.
Beberapa masa kemudian Shalahuddin Al Ayubi berhasil menaklukkan Dinasti Fatimiyah. Pada masa kekuasaannya Al Azhar ditutup sama sekali dan dilarang digunakan untuk aktifitas apapun. Hal ini dilakukan untuk membersihkan pengaruh-pengaruh ajaran Syi'ah yang masih kental. Sebagai gantinya, Shalahuddin mendirikan madrasah-madrasah di sekitar Al Azhar yang mengajarkan Islam dengan pemahaman empat Mazhab Sunni, yang bangunannya masih utuh sampai saat ini. Al Azhar ditutup untuk umum selama hampir satu abad pada masa Dinasti Al Ayubi dan kemudian para bangsawan dan pejabat kerajaan mulai menaruh perhatian terhadap Al Azhar yang masih potensial.
Pada masa Dinasti Mamluki yang dipimpin raja Az Zahir Bibris, diadakan rekonstruksi dan perluasan Al Azhar. Raja ini memberikan sugesti untuk dibuka kembali aktifitas belajar mengajar di Al Azhar. Dan mulai tahun 665 H./ 1266-1267 M., khutbah di Masjid Al Azhar diperbolehkan kembali. Langkah positif ini memperoleh sambutan hangat dari semua kalangan terutama penduduk Mesir masa itu dan para penguasa berikutnya mengikuti jejak langkahnya untuk mengeksiskan dan memakmurkan Al Azhar. Sehingga pancaran cahaya Al Azhar yang sudah redup padam itu lambat laun kembali bersinar terang.
Ketika tentara Mongolia membumi hanguskan kota Baghdad, umat Islam kehilangan Pusat Keilmuan di Timur. Ditambah lagi kota Andalus sebagai kota peradaban Islam masa itu jatuh ke tampuk kekuasaan kaum Kristen Faranj yang kemudian mereka menghilangkan seluruh simbol peninggalan peradaban Islam di sana. Setelah itu pasukan Dinasti Mamluki yang dipimpin Sultan Qathz berhasil menaklukkan pasukan Mongol yang bergerak ke arah Palestina menuju Mesir, pada pertempuran yang terkenal di 'Ain Jalut (658 H./ 1260 M.).
Kabar gembira ini menginspirasi para ulama dan penuntut ilmu datang berbondong-bondong ke Mesir yang merupakan negara Islam teraman pada masa itu. Hal ini pula membuat Al Azhar menjadi kiblat keilmuan agama bagi umat Islam, karena di situlah para ulama dari berbagai penjuru dunia berkumpul dan menuangkan ilmu mereka. Di samping itu pula para penguasa Dinasti Mamluki sangat memperhatikan dan memelihara eksistensi Al Azhar dengan mencurahkan segala kemampuannya. Harta wakaf, infak dan sedekah senantiasa mengalir tanpa henti untuk menjamin kesejahteraan dan kesinambungan para pendidik dan pelajar.
Pada tahun 665 H./ 1266 M., Pangeran 'Izzuddin Aidmar melakukan renovasi bangunan yang hampir rusak. Ia juga meminta kembali halaman di sekitar Al Azhar yang sempat diserobot penduduk setempat. Rasa syukur ini dirayakan dengan melaksanakan shalat Jum'at bersama seluruh penduduk negeri di Al Azhar pada tanggal 18 Rabi'ul Awal 665 H./ 19 Nopember 1266 M.
Kejadian gempa dahsyat pada tahun 702 H./ 1302 – 1303 M., telah merusak masjid Al Azhar. Pangeran Sahd pun pada saat itu segera melakukan renovasi masjid besar-besaran. Perluasan masjid kembali digulirkan pada tahun 725 H./ 1325 M. oleh Pegawai Hisbah kota Kairo yaitu Muhammad bin Hassan Al As'ardi berasal dari kota Sa'rad, Armenia. Pada masa Sultan An Nashir Muhammad bin Qalawun Al Mamluki, Pangeran Alauddin Thibris – Panglima Tentara – mendirikan Madrasah Thibrisiyah yang kemudian disandingkan dengan Masjid Al Azhar. Setelah itu Pangeran Alauddin Aqbagha mendirikan pula Madrasah Aqbaghiyah di sebelah pintu yang indah arah sebelah kiri yang dijadikan sebagai Pintu Utama Masjid.
Sultan At Thawasyi Basyir Al Jamidar An Nasyiri merenovasi dan memperluas masjid lagi pada tahun 761 H./ 1360 M. lalu melengkapinya dengan mushaf-mushaf, menetapkan Qari' khusus dan menyediakan konsumsi makanan bagi fakir miskin setiap harinya. Tidak ketinggalan pula, ia menganjurkan fikih Mazhab Hanafi diajarkan.
Pada masa Sultan Barquq tahun 800 H./ 1360 M., menara masjid sempat runtuh dan langsung dibangun kembali dengan biaya Sultan sendiri. Setelah masa itu menara masjid kembali runtuh sebanyak dua kali pada tahun 817 dan 827 H./ 1414 dan 1423 M. yang kemudian dibangun kembali pada masa itu juga. Pada masa Sultan ini pula dibangun tempat penampungan air, tempat minum dan lampu sumber penerang.
Pada tahun 873 H./ 1468 M. Sultan Qaitbai Al Mamluki merobohkan pintu sebelah barat laut masjid dan diganti dengan mendirikan menara tempat azan di sebelah kanan masjid. Menara ini masa itu menjadi suatu menara paling indah di Kairo. Sultan Qaitbai adalah bangsawan yang sangat peduli terhadap perkembangan Al Azhar dan paling berjasa dalam membangun tempat penampungan bagi kaum fakir miskin dan para ulama. Bahkan Ibnu Iyas berkata tentangnya bahwa sultan ini memiliki kebiasaan unik, yaitu dia selalu datang ke Al Azhar menyamar dengan mengenakan pakaian Maroko guna menyimak apa yang dibincangkan orang-orang tentang dirinya.
Masa-masa terakhir Dinasti Mamluki tahun 1190 H./ 1776 M. Sultan Qanshuh Al Ghuri Al Mamluki membangun menara masjid Al Azhar paling tinggi yang mempunyai dua kepala dan menara unik inilah yang menjadi ciri khas dari Dinasti Mamluki. Kemudian menjadi lambang keagungan Masjid Al Azhar dewasa ini.
Pada masa Daulah Utsmaniyah, Al Fatih Salim Syah sering kali mengunjungi Al Azhar dan shalat di dalamnya. Ia memerintahkah agar Al Qur'an selalu dikumandangkan dan sedekah disemarakkan untuk keperluan penuntut ilmu yang kurang mampu. Pada tahun 1148 H./ 1735-1736 M. dibangun sebuah ruang khusus shalat untuk orang-orang tuna netra yang disebut Zawiyah Al 'Umyan oleh Utsman Katakhda Al Qazdughali.
Salah satu kerabat Utsman Al Qazdughali bernama Abdurrahman Katakhda adalah orang terdermawan terhadap perkembangan Al Azhar pada masa itu. Ia membangun koridor Al Azhar, membuat arah kiblat shalat, mimbar, madrasah anak yatim piatu, talang air dan kuburan.
Adapun pada masa Muhammad Ali Pacha, pada awalnya mereka acuh tidak acuh terhadap Al Azhar. Dan pada akhir abad ke XI H./ XVII M. ditetapkanlah kedudukan Syekh Al Azhar sebagai pimpinan tertinggi.
Sejak abad ini sistem Syekh atau Imam Al Akbar merupakan ciri khusus yang digunakan dalam lembaga tersebut, bahkan dapat dikatakan suatu sistem yang mampu memelihara eksistensi Al Azhar hingga ratusan tahun. Ada sepuluh syekh yang berada pada masa daulah ini, antara lain:
1. Syekh Imam Asy Syarief Muhamad bin Abdullah Al Kharasyi Al Maliki
2. Syekh Imam Ibrahim Muhammad Al barmawi
3. Syekh Imam Muhammad An Nasyraty Al Maliki
4. Syekh Imam Abd el-Baqi Al Qulaeny Al Maliki
5. Syekh Imam Muhammad Syanan Al Maliki
6. Syekh Imam Ibrahim Musa Al Fayoumy Al maliki
7. Syekh Imam Abdellah Al Syabrawi Asy syafi'i
8. Syekh Imam Muhammad Salim Al Hifny Asy syafi'i
9. Syekh Imam Abd Raouf Muhammad As Sujaeni Asy syafi'i
10. Syekh Imam Ahmad Abdel Monem Ad damanhuri
Kemudian pada akhir tahun 1220 H./ 1805 M. Mesir berada di tangan Muhammad Ali. Dan Al Azhar tetap baku menggunakan sistem Masyekhakh-nya. Selanjutnya nama-nama Imam yang menduduki kursi Masyekhakh sebagai berikut:
11. Syekh Imam Abdurrahman Umar Al Hanafi
12. Syekh Imam Abu Shalah Ahmad Musa Al Arusy Asy Syafi'i
13. Syekh Imam Abdullah Asy Syarqawi Asy Syafi'i
14. Syekh Imam Muhammad Asy Syanwani
15. Syekh Imam Muhammad Al Arusi
16. Syekh Imam Ahmad Ali Ad Damhuji
17. Syekh Imam Hasan Muhammad Al 'Athar
18. Syekh Imam Hasan Al Quesni
19. Syekh Imam Ahmad Ash Shaim As safti
20. Syekh Imam Ibrahim Al Bajuri
21. Syekh Imam Musthafa Al Arusi
22. Syekh Imam Muhammad Al Abbasi Al Mahdi Al Hanafi
23. Syekh Imam Muhammad Al Imbabi Asy Syafi'i
24. Syekh Imam Hasunah An Nawawi Al Hanafi
25. Syekh Imam Ali Muhamad Al Bablawi Al Maliki
26. Syekh Imam Salim Al Bisyri Al Maliki
27. Syekh Imam Ali Muhammad Al Bablawi Al Maliki (yang kedua kali)
28. Syekh Imam Abdurrahman Asy Syirbini
29. Syekh Imam Hasunah An Nawawi Al Hanafi (yang kedua kali)
30. Syekh Imam Salim al-Bisyri Al-Maliki (yang kedua kali)
31. Syekh Imam Muhammad Abu Fadhal Al Gizawi
32. Syekh Imam Muhammad Musthafa Al Maragi
33. Syekh Imam Muhammad Al Ahmady Adzawahiri
34. Syekh Imam Muhammad Musthafa Al Maragi (yang kedua kali)
35. Syekh Imam Musthafa Abdurraziq
36. Syekh Imam Muhammad Ma'mun Asy Syanwani
37. Syekh Imam Abdul Majid Salim
38. Syekh Imam Ibrahim Hamrusi
39. Syekh Imam Abdul Majid Salim (yang kedua kali)
Pada dua kepemimpinan belakangan ini Mesir tengah mengalami kegoncangan politik besar-besaran, sebagai periode baru menuju Mesir Modern, ditandai dengan terjadinya revolusi juli 1952 M. yaitu penggulingan Gamal Abdul Naser terhadap raja Faruq Dinasty Kheidio, sekaligus peralihan sistem kerajaan ke sistem republik dan pengembalian ibukota dari Iskandariyah ke Kairo. Adapun sistem Masyekhah Al Azhar terus berlangsung dan berjalan dengan gemilang. Generasi penerusnya yaitu:
40. Syekh Imam Muhammad Al Hadhr Husein
41. Syekh Imam Abdul Rahman Taj
42. Syekh Imam Mahmud Syaltut
43. Syekh Imam Hasan Ma'mun
44. Syekh Imam Muhammad Al Fahham
45. Syekh Imam Gadul Haq Ali Gadul Haq
46. Syekh Imam Muhammad Sayyed Thantahwi
47. Syekh Imam Ahmad Thayib
Pada masa Sultan Salim I Al Utsmani terjadi kefakuman perkembangan keilmuan di Al Azhar karena dikirimnya sejumlah ulama-ulama Al Azhar ke Al Astanah – ibu kota Dinasti Utsmaniyah masa itu – padahal mereka adalah orang-orang pilihan dari Empat Mazhab Sunni. Akan tetapi pada masa-masa terakhir kekuasaan mereka, para penguasa mengerahkan seluruh kemampuannya untuk tetap menjaga nama besar dan keagungan Al Azhar.
Ruangan Masjid Al Azhar Pada Masa Berikutnya
Berdasarkan arsip resmi tahun 1268 H./ 1815 M., ruangan dan ruwaq Al Azhar terbagi atas nama-nama di bawah ini:
1. At Turk (tempat orang Turki)
2. Asy Syawam (tempat orang Syam)
3. Al Kurd (tempat orang Kurdi)
4. Al Magharibah (tempat orang Afrika Utara)
5. Al Bukhara (tempat orang Asia Tengah)
6. Ash Sha'adiyah (tempat penduduk pedalaman Mesir)
7. Ar Riyafah (tempat penduduk Delta, Mesir) atau Al Manafiyah (tempat penduduk Manufiyah, Mesir) atau Syekh Syanwati
8. Al Bahawirah (tempat penduduk Buhairah, Mesir)
9. Asy Syekh Al Bajuri
10. Al Madrasah Al Ibtighawiyah
11. Al Falatsah (tempat orang Afrika Tengah)
12. Asy Syekh Tsu'ailib
13. Ad Danasyirah (tempat orang Danusyirah dan sekitarnya)
14. Ibnu Mu'ammar
15. Asy Syarqawi (tempat penduduk Timur, Mesir)
16. Asy Syabrakhiti
18. Al Hunud (tempat orang India)
19. Al Baghdadiyah (tempat orang Baghdad dan sekitarnya)
20. Ad Damanhuri (tempat penduduk Damanhur, Mesir)
21. Al Basyabisyah (tempat orang Basyisi dan sekitarnya)
22. Ad Dakarinah atau Ash Shulaihiyah
23. Darfour
24. Al Yamaniyah
25. Al Barabirah (tempat orang Barbar)
26. Al Jawi (tempat orang Jawa dan sekitarnya)
27. Al Imarah Al Jadidah atau Muhammad Al Maghrobil
28. As Sulaimaniyah
29. Isa Afandi
30. Al Jabartiyah
Sebagian dari ruwaq-ruwaq di atas masih dipergunakan sampai pada awal tahun 1998 dan kemudian dikosongkan dengan alasan akan direnovasi. Adapun para pelajar dan mahasiswa Al Azhar yang sempat tinggal di ruwaq itu – sebagian mereka orang Indonesia – dipindahkan ke sebuah gedung di kawasan km 4,5 Nasr City, Kairo, dengan memperoleh pelayanan yang hampir sama dengan mereka yang tinggal di asrama Al Azhar. Yang membedakan adalah mereka tidak menerima beasiswa resmi dari Al Azhar.
Semenjak direnovasi sampai sekarang, ruwaq-ruwaq itu tidak pernah lagi dipakai sebagaimana fungsi awalnya dahulu. Mengingat bahwa Masjid Al Azhar saat ini sudah berada di bawah kendali Kementrian Wakaf Mesir – seperti masjid-masjid lain di Mesir – dan bukan lagi di bawah kebijakan Grand Syekh Al Azhar.
Sistem Pendidikan Masa Lalu
Berdasarkan UU No. 10 tahun 1911, Al Azhar beralih ke periode baru dalam sistem pendidikan dengan bertambahnya materi-materi pelajaran yang disampaikan. Syekh Al Azhar memiliki kewenangan khusus untuk membuat suatu majelis yang berada langsung dibawah pimpinannya dan majlis itu dinamakan Majelis Tertinggi Al Azhar (Majlis Al Azhar Al A'la). Dibentuk pula suatu Lembaga Tokoh-tokoh Ulama (Hai'ah Kibar Al 'Ulama), kemudian setiap mazhab mempunyai Syekh sendiri yang menjadi pimpinannya dan setiap lembaga pendidikan (ma'had) mempunyai manajemen sendiri.
Al Azhar tunduk kepada keputusan UU tersebut dengan berbagai perubahan yang ditetapkan setelahnya. Sampai kemudian keluar UU No. 33 tahun 1923 untuk membentuk Bagian Spesialisasi. Pada tanggal 24 Jumadil Akhir 1349 H./ 1930 M., dikeluarkan SK dengan UU No. 49 tahun 1930 yang mengatur ulang sistem Masjid Al Azhar serta lembaga-lembaga ilmu agama Islam. UU ini mulai berlaku pada tahun 1931.
UU ini telah membentuk pendidikan di Al Azhar menjadi empat tingkat:
1. Ibtida'i. Masa pendidikannya empat tahun. Materi yang diajarkan: Fikih, Akhlak, Tajwid, Hafalan Al Qur'an, Tauhid, Biografi Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, Muthala'ah dan Mahfuzhat, Mengarang, Nahwu, Sharf, Dikte, Kaligrafi, Sejarah, Geografi, Ilmu Hitung, Aritmatika Sains, Pedoman Ilmu, Kesehatan, Menggambar.
2. Tsanawi. Masa pendidikan lima tahun. Materi yang disampaikan: Fikih, Tafsir, Hadits, Tauhid, Hafalan Al Qur'an, Nahwu, Sharf, Balaghah (bayan, badi', ma'ani), Ilmu Syair, Muthala'ah dan Mahfuzhat, Mengarang, Sastra Arab, Matematika, Ilmu Biologi, Kimia dan sejarahnya, Mantiq, Sejarah, Geografi, Akhlak, Pendidikan Kenegaraan.
3. 'Aly. Masa pendidikan empat tahun dan terbagi menjadi empat fakultas:
A. Fakultas Bahasa Arab. Materi yang diajarkan: Nahwu, Wadh'u, Sharf, Mantiq, Balaghah, Sastra Arab dan Sejarahnya, Sejarah Arab Pra Islam, Sejarah Bangsa-bangsa Islam, Tafsir, Hadits, Tauhid, Mengarang dan Fikih Bahasa Arab.
B. Fakultas Syari'ah. Materi yang diajarkan: Tafsir, Matan Hadits, Mushtalah Hadits dan Perawi Hadits, Ushul Fikih, Sejarah Syari'at Islam, Fikih berkomparasi pada problematika global serta hikmah penetapan hokum Islam, Sastra Bahasa Arab, Ilmu Balaghah dan Mantiq.
C. Fakultas Ushuluddin. Materi yang disampaikan: Tauhid dilengkapi dengan argument dan sangkalan syubhat yang marakk dewasa ini, Ilmu Logika dan Debat, Filsafat dilengkapi bantahan terhadap filsafat yang berlawanan dengan agama, Akhlak, Tafsir, Hadits, Sastra dan Sejarah Bahasa Arab, Sejarah Islam, Ilmu Jiwa dan Ilmu Balaghah.
4. Kuliah Spesialisasi. Terbagi dua macam: Spesialisasi Profesi dan Spesialisasi Materi.
Tujuan dari Spesialisasi Profesi adalah untuk menyiapkan ulama-ulama yang berprofesi sebagai pemberi nasehat dan bimbingan, menjadi hakim di peradilan syari'ah, memberi fatwa, advokasi atau pendidik di lembaga-lembaga pendidikan agama dan sekolah pemerintah.
Adapun tujuan dari Spesialisasi Materi adalah mempersiapkan ulama-ulama berkualitas tinggi di bidang ilmu-ilmu pokok pada tiga fakultas tersebut. Pemegang ijazah pada Spesialisasi Materi ini akan dinobatkan sebagai pendidik atau dosen di fakultas atau bagian spesialisasi.
Ada juga bagian pendidikan lain yang tidak termasuk ke dalam sistem di Al Azhar di mana para anak didiknya tidak memenuhi syarat bila mendaftar di fakultas atau bagian resmi. Banyak juga di antara mereka yang berminat ingin memperluas wawasan Bahasa Arab dan Ilmu Agamanya.
Ijazah Al Azhar
Ijazah Al Azhar yang akan diberikan kepada mereka yang sukses pada ujian akhir masa pendidikannya adalah sebagai berikut:
1. Ijazah Ibtida'i. Diberikan kepada mereka yang telah menamatkan level ibtida'inya dan memberikan hak kepada pemegangnya untuk melanjutkan ke jenjang level Tsanawi Bagian Pertama.
2. Ijazah Tsanawi Bagian Pertama. Diberikan kepada mereka yang menyelesaikan tahun pertama, kedua dan ketiga di Tsanawi Bagian Pertama dan memberikan hak bagi pemegangnya untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya Tsanawi Bagian Kedua.
3. Ijazah Tsanawi Bagian Kedua. Diberikan kepada mereka yang menyelesaikan masa pendidikannya tahun keempat dan kelima dari Tsanawi Bagian Kedua dan memberikan hak penuh kepada pemegangnya untuk bergabung di fakultas yang ada.
4. Ijazah 'Aliyah. Dianugerahkan kepada mereka yang menamatkan masa pendidikannya di salah satu fakultas. Bagi pemegangnya dapat bekerja pada bagian Tata Usaha di Masjid Al Azhar, Lembaga Agama, Peradilan Agama, Majelis Hisbah dan Wakaf, Mengajar di Masjid-masjid, Menjadi Khatib, Imam Masjid dan Penghulu Resmi di Kantor Urusan Agama.
5. Ijazah 'Alamiyah. Dianugerahkan kepada mereka yang menamatkan pendidikan spesialisasi profesi atau materi. Mereka yang memperoleh ijazah ini bisa mengajar di Lembaga-lembaga Pendidikan Agama atau Sekolah-sekolah Pemerintah. Bisa juga mengajukan ke Peradilan Agama, Lembaga Fatwa, Advokasi di Peradilan Syari'ah dan Majelis Hisbah.
6. Ijazah 'Alamiyah dengan gelar Ustadz (Profesor). Dianugerahkan kepada mereka yang ahli dalam satu bidang materi pendidikan. Bagi pemegangnya bisa mengajar di fakultas-fakultas dan di bagian spesialisasi.
Dewan Tertinggi Al Azhar
UU No. 193 menetapkan adanya Badan Judikatif yang mempunyai hak meninjau aturan dan undang-undang yang diberlakukan untuk perjalanan pendidikan dan manajemen di Al Azhar dan lembaga-lembaga pendidikan agama. Badan ini disebut Majelis Tertinggi Al Azhar, yang terdiri dari:
1. Syekh Jami' Al Azhar
2. Deputi (Wakil) Jami' Al Azhar dan lembaga-lembaga pendidikan Islam. Ia berhak memegang kepemimpinan majelis bila Syekh Al Azhar berhalangan.
3. Mufti Diyar Masriyah.
4. Para Syekh di tiga fakultas di atas.
5. Deputi Departemen Al Haqqaniyah.
6. Deputi Departemen Wakaf.
7. Deputi Departemen Hubungan Sosial.
8. Deputi Departemen Keuangan.
9. Dua pejabat anggota Lembaga Tokoh Agama yang ditetapkan dengan mandat presiden selama dua tahun.
10. Dua pejabat yang eksistensinya berguna bagi kepentingan pendidikan di Al Azhar dan lembaga-lembaga pendidikan Islam dan diputuskan dengan mandat presiden selama dua tahun.
Struktur Badan-Badan di Al Azhar
Berdasarkan undang-undang revolusi yang dikeluarkan tahun 1961, institusi Al Azhar terdiri dari elemen-elemen sebagai berikut:
1. Syekh Al Azhar ( Al Imam Al Akbar/ Grand Syekh ), pimpinan tertinggi institusi Al Azhar, diangkat melalui ketetapan presiden dari salah satu anggota Majma’ Al Buhuts Al Islamiyah, atau orang yang memenuhi persyaratan untuk menjadi anggotanya.
2. Wakil Syekh Al Azhar, yang harus memenuhi syarat seperti yang disyaratkan bagi Syekh Al Azhar.
3. Diangkat juga kementrian Al Azhar.
Disamping itu, ditetapkan lima badan atau lembaga yang menginduk kepada Al Azhar, yaitu :
1. Al Majlis A’la lil Azhar ( Majlis Tinggi Al Azhar ).
2. Majma ‘Al-Buhuts Al Islamiyah ( Lembaga Riset Islam ). Lembaga ini memiliki tiga divisi: Divisi Al Bu’uts Al Islamiyah, Divisi Ad Da’wah wal Irsyad, dan Divisi Riset dan Penerbitan yang mengelola majalah Al Azhar.
3. Kantor kebudayaan dan Al Bu’uts Al Islamiyah ( kemudian digabung ke dalam Majma’ Al Buhuts Al Islamiyah ).
4. Universitas Al Azhar.
5. Al Ma’ahid Al Azhariyah.
Syekh dan Rektor Al Azhar, dua-duanya mempunyai posisi penting, tapi jangkauan perannya berbeda. Syekh Al Azhar memimpin keseluruhan lembaga Al Azhar. Sedangkan Rektor Al Azhar hanya menangani Universitas.
Wajah Modern Al Azhar
Pada tahun 1961, pada masa Syekh Mahmud Syaltut, dikeluarkanlah undang-undang no. 103 tahun 1961 yang menetapkan fakultas-fakultas cabang ilmu pengetahuan umum, seperti fakultas kedokteran, perdagangan, tehnik, pertanian, farmasi, dan lainnya yang dapat kita saksikan hingga sekarang. Ini merupakan kemajuan yang patut kita syukuri.
Sebagai universitas modern, Al Azhar turut membuka model kuliah yang diklasifikasikan dalam dua kelompok fakultas: ‘Ilmi (sains) dan Adaby (agama). “Gedung pusat” kedua bentuk fakultas itu juga terpisah, fakultas-fakultas ‘Ilmi sebagian besar menempati kawasan Nasr City. Sedangkan yang Adaby umumnya berada di daerah Husein, kedua-duanya masih dalam kota Kairo.
Meskipun ada pengelompokan fakultas, namun bukan maksud Al Azhar untuk memisahkan studi bidang umum dan agama, tapi lebih sebagai upaya menuju spesialisasi bidang studi bagi para mahasiswanya. Al Azhar juga menyediakan fakultas khusus putri (Kulliyatul Banat) yang terpisah dari mahasiswa putra (Banin).
Selain universitasnya yang berkedudukan di Kairo, Al Azhar pun telah lama membuka cabang-cabangnya di berbagai provinsi di Mesir, seperti di Iskandariyah, Thanta – Muhafadzoh Gharbiyah, Manshurah dan Tafahna Al Asyraf – Muhafadzoh Daqahliah, Zagaziq – Muhafadzoh Syarqiyyah, Assyuth, Dimyath, Damanhur – Muhafadzoh Buhairah dan sebagainya. Pada masa kepemimpinan Rektor Al Azhar Prof. DR. Ahmad Omar Hasyim, Al Azhar terus bergerak ke depan dalan berbagai segi, termasuk memajukan urusan administrasi yang kelihatan kurang efektif.
Fakultas-Fakultas Al Azhar Agama Putra terdiri dari:
I. Fakultas Ushuluddin(Gelar License); masa kuliah selama empat tahun, dengan jurusan-jurusan sebagai berikut:
a. Tafsir dan Ilmu-Ilmu Al Qur'an
b. Hadis dan Ilmu Hadis
c. Akidah Filsafat
d. Dakwah dan Peradaban Islam
II. Fakultas Syari'ah (Gelar License); dengan jurusan sebagai berikut:
a. Program Under Graduate, dengan jurusan:
1. Syariah Islamiyah (4 tahun)
2. Syariah dan Hukum (5 tahun)
b. Program Post Graduate, dengan jurusan:
a. Ushul Fikih
b. Perbandingan Mazhab
c. Perbandingan Hukum
d. Sosial Politik.
III. Fakultas Dakwah (Gelar License); jurusan-jurusannya baru ada pada Post Graduate:
1. Perbandingan Agama
2. Kebudayaan Islam.
IV.Fakultas Studi Islam (Gelar License); dengan jurusan pada Post Graduate:
V. Fakultas Bahasa Arab (Gelar License); dengan jurusan:
1. Bahasa Arab dan Adab (Umum)
2. Sejarah dan Peradaban,
3. Pers dan Informasi.
Fakultas-Fakultas Agama Al Azhar Puteri:
I. Fakultas Studi Islam dan Bahasa Arab (Gelar License); dengan jurusan sebagai berikut:
1. Syari'ah Islamiyah
2. Ushuluddin
3. Bahasa Arab
Fakultas-fakultas Umum Putra Universitas Al Azhar Mesir:

1. Fakultas Perdagangan (Gelar Bachelor).
Penjurusan dimulai pada tingkat III:
Jurusan A’mal wa Muhasabah (Management).
Ihsha’ (Akutansi).

2. Fakultas Farmasi (Gelar Bachelor).

3. Fakultas Kedokteran Gigi (Gelar Bachelor).
Diawali satu tahun masa persiapan sebelum kuliah dan satu tahun masa praktek setelah kuliah.

4. Fakultas Pertanian (Gelar Bachelor).
Penjurusan dimulai pada tingkat III:
Jurusan Umum.
Jurusan Pembasmi Hama.
Jurusan Persusuan.
Jurusan Ekonomi Pertanian.
Jurusan Perkebunan.
Jurusan Produksi Hewan.
Jurusan Pengadaan Pangan.
Jurusan Pertenaian Genetika Serangga Produktif.
Jurusan Agronomi.
Jurusan Agrologi.
Jurusan Teknik Pertanian.
Jurusan Produksi Pertanian.
Jurusan Penyakit Tumbuh-tumbuhan.
Jurusan Hewan Pertanian dan Nematoda.
Jurusan Produksi Ikan.

5. Fakultas Teknik (Gelar Bachelor).
Penjurusan dimulai pada tingkat I:
Jurusan Teknik Sipil.
Jurusan Teknik Rancang Bangun.
Jurusan Teknik Mesin.
Jurusan Sistem Teknik dan Akutansi.
Jurusan Teknik Pertambangan dan Perminyakan.
Jurusan Teknik Elektro.

6. Fakultas Bahasa dan Terjemah (Gelar Bachelor).
Penjurusan dimulai pada tingkat I:
Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris.
Jurusan Bahasa dan Sastra Spanyaol.
Jurusan Bahasa dan Sastra Ibrani.
Jurusan Bahasa dan Sastra Turki.
Jurusan Bahasa dan Sastra Prancis.
Jurusan Bahasa dan Sastra Jerman.
Jurusan Bahasa dan Sastra Parsi.
Jurusan Bahasa dan Sastra Afrika.
Jurusan Bahasa Urdu.
Jurusan Bahasa Eropa Lama.
Jurusan Bahasa Cina.
Jurusan Terjemah Bahasa Inggris.
Jurusan Studi Islam dengan Bahasa Inggris.
Jurusan Studi Islam dengan Bahasa Jerman.
Jurusan Studi Islam dengan Bahasa Prancis.

7. Fakultas Sains (Gelar Bachelor).
Penjurusan dimulai pada tingkat I:
Jurusan Fisika.
Jurusan Kimia.
Jurusan Biologi.
Jurusan Botani.
Jurusan Mikrobiologi.
Jurusan Zoologi.
Jurusan Matematika.
Jurusan Fisiologi.

8. Fakultas Pendidikan (Gelar License).
Penjurusan dimulai pada tingkat I:
Jurusan Studi Islam.
Jurusan Studi Arab.
Jurusan Studi Inggris.
Jurusan Geografi.
Jurusan Sejarah.
Jurusan Perpustakaan.
Jurusan Informasi dan Teknologi Pendidikan.
Jurusan Bidang Penyuluhan dan Kemasyarakatan.


Fakultas-fakultas Umum Putri Universitas Al Azhar Mesir: 

1. Fakultas Study Kemanusiaan.
Memiliki beberapa bidang (syu’bah) sbb:
Bidang Humaniora (Gelar License).
Jurusan Psikologi
Jurusan Sosiologi Sejarah
Jurusan Geografi
Bidang Bahasa Eropa dan Terjemahan (Gelar License).
Jurusan Bahasa Inggris dan Terjemah
Jurusan Bahasa Prancis dan Terjemah
Bidang Bahasa Timur (Gelar License).
Jurusan Bahasa Parsi dan Ibrani
Bidang Tarbiyah (Gelar License).
Jurusan Adab dan Tarbiyah
Bidang Manuskrip, Perpustakaan dan Informasi (Gelar License).

2. Fakultas Perdagangan (Gelar Bachelor).
Penjurusan dimulai pada tingkat III:
Idarah A’mal wa Muhasabah (Management).
Ihsha’ (Akutansi).
Iqtishad (Ekonomi).

3. Fakultas Kedokteran (Gelar Bachelor).

4. Fakultas Farmasi (Gelar Bachelor).

5. Fakultas Sains (Gelar Bachelor).
Penjurusan dimulai pada tingkat I:
Jurusan Fisika.
Jurusan Kimia.
Jurusan Botani.
Jurusan Zoologi.
Jurusan Matematika.
Untuk fakultas-fakultas agama bagi orang asing (selain Mesir) tidak dipungut biaya kuliah, sedangkan untuk fakultas umum bagi orang asing diwajibkan membayar biaya kuliah, kecuali mereka yang mendapatkan beasiswa.
Disamping semua yang telah disebutkan diatas, Al Azhar juga mempunyai lembaga-lembaga pendidikan yang terdiri dari Madrasah Ibtidai'yah (setingkat SD), I'dadiyah (setingkat SLTP), Tsanawiyah (setingkat SLTA), Sekolah Pendidikan Guru dan Institut Seni Membaca dan Menghafal Al Qur'an.
Program Pendidikan
Pada setiap fakultas Al Azhar terdapat dua program:
a. Program Under Graduate/ S1, dengan masa kuliah minimal empat tahun. Lulusan program ini mendapat gelar Lc. (Licence) atau BA. (Bachelor). Masa aktif kuliah dimulai pada bulan September sampai Desember dengan ujian term I sekitar bulan Januari kemudian dilanjutkan pada pertengahan Februari. Bulan Mei diakhiri dengan ujian term II dilanjutkan ke bulan Juni. Pada program ini mahasiswa dituntut untuk:
1. Lulus pada setiap mata kuliah, apabila tidak lulus lebih dari dua mata kuliah dianggap tidak naik tingkat dan harus mengulang mata kuliah yang tertinggal ditahun berikutnya. Kesempatan mengulang selama dua tahun berturut-turut, kalau masih gagal juga akan diberhentikan (mafsul/DO).
2. Diwajibkan menghafal Al-Qur'an sebanyak 2 juz untuk setiap tingkat bagi mahasiswa asing non Arab.
b. Program Post Graduate (Dirasah 'Ulya), dibagi dalam dua program:
1. Program Magister (Master), dengan masa pendidikan selama dua tahun setelah Lc, ditambah dua tahun penulisan tesis. Untuk meraih gelar Master dituntut:
- Hafal Al Qur'an 30 Juz bagi orang Arab dan 8 juz bagi non Arab.
- Lulus setiap mata kuliah pada ujian lisan dan tulisan yang diadakan dalam dua gelombang setiap tahunnya. Jika tidak lulus dalam satu mata kuliah harus mengulang seluruh mata kuliah pada gelombang selanjutnya, dan diberi kesempatan mengulang maksimal tiga tahun berturut-turut.
- Pada masa penulisan tesis harus mengajukan judul dengan kerangka pembahasan, setelah diterima kemudian ditentukan pembimbing.
2. Program Doktor (DR/ PhD).
- Program ini berlaku hanya untuk lulusan Magister, dan diberi waktu untuk penulisan disertasi minimal dua tahun.
- Setelah diterima judul disertasinya, kemudian akan ditentukan pembimbingnnya.
Referensi:
- Fariq Al Buhuts Wad Dirasah Al Islamiyah, taqdim Dr. Ragheb Sargani, Al Mausu’ah Al Muyassaroh fi At Tarikh Al Islami, cet.I, 1426H./2002M.
- Jamaluddin Ahmad Kholiq, Modul Orientasi Mahasiswa baru Angkatan 2004, cet.I, Ramadan1425H./November2004,Kairo.
- KMA, Panduan Kemesiran dan Al Azhar, cet.III, Rabi’ul Akhir 1424 H. / Juni 2003, Kairo. Dan Al Azhar Jami’an wa Jami’atan
 Aw Al Azhar fi Alfi ‘Am, Muhammad Kamal As Sayid Muhammad, dll.
Disusun Oleh: H. SYAHRUL AFRIZAL SITORUS LC. DIPL