Sabtu, 02 Februari 2013

Mengusung Islam Moderat


Terjadinya keragaman dalam pemahaman keagamaan adalah sebuah fakta sejarah dalam Islam. Keragaman tersebut, salah satunya, disebabkan oleh dialektika antara teks dan realitas itu sendiri, dan cara pandang terhadap posisi akal dan wahyu dalam menyelesaikan satu masalah. Konsekuensi logis dari kenyataan tersebut adalah munculnya terma-terma yang mengikut di belakang kata Islam. Sebut misalanya, Islam Fundamental, Islam Liberal, Islam Progresif, Islam Moderat, dan masih banyak label yang lain.
Islam pada dasarnya adalah agama universal, tidak terkotak-kotak oleh label tertentu, hanya saja, cara pemahaman terhadap agama Islam itu kemudian menghasilkan terma seperti di atas. Diterima atau tidak, itulah fakta yang ada dewasa ini yang mempunyai akar sejarah yang kuat dalam khazanah Islam. Fakta sejarah menyatakan bahwa embrio keberagamaan tersebut sudah ada sejak era Rasulullah saw., yang kemudian semakin berkembang pada era sahabat, terlebih khusus pada era Umar bin Khattab. Ia kerap kali berbeda pandangan dengan sahabat-sahabat yang lain, bahkan mengeluarkan ijtihad yang secara sepintas bertentangan dengan keputusan hukum yang ditetapkan oleh Rasululullah saw. sendiri. Sebutlah misalnya, tidak membagikan harta rampasan kepada umat Islam demi kemaslahatan umum (negara), yang jelas-jelas sebelumnya dibagikan oleh Rasulullah melalui perintah teks Al-Qur’an (QS. Al-Anfal (8): 41).
Terus bagaimana seharusnya menyikapi kenyataan tersebut? Bagaimana cara beragama yang paling baik dan ideal, khususnya di bumi Indonesia?
Tulisan ini tidak bertujuan untuk mengklaim kebenaran satu cara pandang beragama dan menyalahkan cara yang lain. Sekali lagi, keberagamaan itu adalah sebuah kemestian. Namun tulisan ini mencoba untuk melihat dampak dan pengaruh cara pandang tersebut terhadap kondisi keberagamaan umat Islam, khususnya di Nusantara.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa keberagaman dalam beragama disebabkan oleh cara memosisikan akal dan wahyu, realitas dan teks dalam menyelesaikan satu masalah. Kelompok yang memberikan porsi berlebihan pada teks, namun menutup mata dari perkembangan realitas cenderung menghasilkan pemahaman yang tekstual. Semangat penerapan hukum-hukum agama dalam kondisi apapun sangat besar sekali. Apa yang tertera dalam teks (Al-Qur’an dan Hadis) harus aplikasikan dalam dewasa ini, sebagai  bentuk ittiba’ kepada orang salaf (Rasulullah, sahabat, dan tabiin), meski dalam kondisi tertentu kurang mengapresiasi realitas sosial kemasyarakatan yang ada.
Sebaliknya, ada sebagian kelompok terlalu memberikan porsi lebih pada akal atau realitas dalam memahami sebuah permasalahan. Sehingga, dalam pengambilan sebuah keputusan, kelompok ini justru sangat menekankan pada realitas dan memberikan ruang yang bebas terhadap akal. Yang terjadi adalah sebaliknya, kelompok ini sangat konstekstual dan terkadang kurang mempertimbangkan otoritas teks. Keduanya hadir pada posisi berlebihan.
Pengaruh dua kecenderungan pemahaman di atas pun berdampak luar biasa pada cara beragama umat Islam dewasa ini. Munculnya gerakan-gerakan anarkis dan ekstrim di Nusantara, misalnya pembunuhan, bom bunuh diri, selain disebabkan oleh alasan politik-ekonomi, juga dipengaruhi oleh cara pandang yang sangat tekstual terhadap Al-Qur’an dan Hadis. Sebaliknya, kebebasan akal yang berlebihan dan tanpa batas acapkali berujung pada penabrakan teks-teks yang Qat’i, yang pada akhirnya dengan gegabah menawarkan pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan pemahaman yang sudah mapan. Bahkan terkadang mencoba mengotak-atik ajaran-ajaran fundamental yang bersifat ta’abbudi (Ilahi) dengan dalih asas kebebasan dan  kemanusiaan.
Ilustrasi di atas menandaskan bahwa kedua cara pandang tersebut sama-sama berada pada titik ekstrim dan over. Dampaknya pun sama-sama ekstrim; kelompok pertama bentuk ekstrimnya tampak dan nyata dalam gerakan yang berujung pada anarkisme yang menganggu kenyamanan masyarakat bahkan stabilitas keamanan nasional. Di sisi lain, kelompok overkontekstual, berada pada bentuk ektrim yang lain. Ia lebih lembut, namun tak kalah besar pengaruhnya dalam masyarakat. Karena dapat mengaburkan ajaran-ajaran agama yang sangat mendasar, yang absolut kemudian berubah menjadi relatif. Tidak ada kemudian ulama dan institusi yang dipercaya bisa mengeluarkan fatwa. Semuanya bebas berijtihad tanpa mempersoalkan background pendidikannya.
Dengan demikian, kedua cara pandang beragama di atas kurang ideal, khususnya dalam konteks keindonesaan. Alasannya sangat sederhana, Islam adalah agama rahmat seluruh alam semesta. Agama rahmat tidak berada pada titik ekstrim dan over (berlebihan: tatharruf). Islam selalu hadir dengan solusi representatif yang dapat diterima oleh akal sehat dan fitrah manusia, karena Islam adalah agama fitrah.
Maka dari itu, pemahaman yang berada di tengah kedua corak pemahaman di atas menjadi sebuah kemestian, apalagi dalam konteks keindonesiaan yang sangat mejemuk. Pemahaman yang berada di tengah-tengah sebenarnya menjadi esensi agama Islam itu sendiri. Dalam sejarahnya, agama Islam datang sebagai penyeimbang agama-agama sebelumnya; agama Yahudi dan Nasrani. Agama Yahudi berada pada titik yang sangat keras, sebaliknya agama Nasrani berada pada titik yang sangat lembek. Dalam kasus qisas, agama Yahudi menyatakan jika seorang ditampar sekali, maka dia harus membalas dua kali tamparan. Sebaliknya dalam agama Kristen, jika seorang ditampar pipi kanannya maka ia dianjurkan memberikan pipi kirinya untuk ditampar lagi. Beda halnya dalam Islam, kasus qisas, misalnya membunuh seorang maka dia juga harus dibunuh sebagai qisas (balasan sepadan), tapi memaafkan pelaku adalah sikap yang lebih baik. Demikian bentuk kemoderatan Islam.
Islam Moderat sebagai Pilihan
Kata moderat dalam bahasa Arab dikenal dengan al-wasathiyah.  Dalam Al-Qur’an merupakan kata yang terekam dari QS. al-Baqarah(2): 143. Kata al-Wasath dalam ayat tersebut, bermakna terbaik dan paling sempurna. Dalam hadis yang sangat populer juga disebutkan bahwa sebaik-baik persoalan adalah yang berada di tengah-tengah. Dalam artian dalam melihat dan menyelesaikan satu persoalan, Islam moderat mencoba melakukan pendekatan kompromi dan berada di tengah-tengah, begitupula dalam menyikapi sebuah perbedaan, baik perbedaan agama ataupun mazhab, Islam moderat selalu mengedepankan sikap toleransi, saling menghargai, dengan tetap meyakini kebenaran keyakinan masing-masing agama dan mazhab. Sehingga semua dapat menerima keputusan dengan kepala dingin, tanpa harus terlibat dalam aksi yang anarkis.
Oleh karena itu, paham Islam Moderat merupakan ajaran yang mesti dibumikan di Nusantara. Ia sangat representatif memberikan jawaban dan solusi terhadap seluruh permasalahan yang dihadapi umat Islam dewasa ini. Ia tidak terlalu ekstrim ke kanan, dalam hal ini overtekstual, tapi juga tidak terlalu ekstrim ke kiri, dalam artian overkonstekstual. Islam moderat selalu mengedepankan keseimbangan antara teks dan konteks, antara wahyu dan akal. Karena keduanya adalah kebenaran yang bersumber dari Tuhan. Mengabaikan salah satunya berarti meninggalkan sebagian kebenaran Tuhan.
Kemoderatan Islam tersebut kemudian terekam juga dalam berbagai disiplin ilmu; akidah, fiqh, tafsir, pemikiran, tasawwuf dan dakwah. Dalam ilmu akidah (teologi), Islam Moderat direpsentasikan oleh aliran al-Asy’ariyah. Aliran yang menengahi antara Muktazilah yang sangat rasional dengan Salafiah dan Hanabilah yang sangat tekstual. Keduanya sama-sama berada pada titik “ekstrim”. Rasionalitas yang berlebihan acapkali mengaburkan kejernihan akidah Islam, sebaliknya tekstualitas yang berlebihan bisa saja menyebabkan kejumudan dalam berijtihad.
Begitupula dalam ilmu syariah, kemoderatan Islam pun harus digalakkan. Dalam hal ini, dialektika antara teks dan realitas selalu berjalan lurus dalam mengeluarkan sebuah hukum, karena maksud Tuhan yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Hadis tak pernah bersebrangan dengan kemaslahatan umat manusia. Karenanya, kontekstualisasi, subtansialisasi dan rasionalisasi teks menjadi penting dalam proses berijtihad.
Hal yang sama juga terjadi dalam ilmu tafsir, seorang penafsir harus mengkontekstualkan Al-Qur’an dengan dirinya sendiri, dalam artian, menemukan makna asli teks melalui kajian bahasa dan sebab turun ayat serta kondisi kemasyarakatan secara umum pada saat turunnya sebuah ayat. Sementara langkah kedua, yaitu mengkontekstualkan Al-Qur’an dengan dunia kontemporer dewasa ini. Dalam hal itu, makna asli teks Al-Qur’an dihubungkan dengan konteks sekarang melalui langkah rasionalisasi. Dengan prinsip ini, penafsiran Al-Qur’an tidak kaku karena mempertautkan dengan realitas sekarang, dan juga tidak terlalu liberal karena tetap berangkat dari pemahaman yang kuat terhadap makna asli teks Al-Qur’an.
Sementara, sisi kemoderatan dalam pemikiran Islam adalah mengedepankan sikap toleran dalam perbedaan. Keterbukaan menerima keberagamaan (red:inklusivisme). Baik beragam dalam mazhab maupun beragam dalam beragama. Perbedaan tidak menghalangi untuk menjalin kerja sama, dengan asas kemanusiaan. Meyakini agama Islam yang paling benar, tidak berarti harus melecehkan agama orang lain. Sehingga akan terjadilah persaudaraan dan persatuan anatar agama, sebagaimana yang pernah terjadi di Madinah di bawah komando Rasulullah Saw.
Selain di atas, Islam Moderat juga nampak dalam wilayah Tasawwuf. Dalam pada itu, konsep ajaran esoterik yang termanifestasi dalam spritual sufistik tidak berarti negatif sebagaimana banyak dipahami orang, seperti kekumuhan, kekurangan, kemiskinan dan lain-lain, tapi sufi moderat adalah orang yang selalu menghadirkan nilai-nilai ketuhanan dalam tiap langkahnya. Praktik kehidupan spiritualitas sufistik moderat adalah membangun kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan yaitu; kebahagiaan qalbiyah yakni dengan makrifatullah melalui akhlak karimah, serta kebahagian jasminiah dengan kesehatan serta pemenuhan kebutuhan yang bersifat material.
Terakhir adalah moderat dalam dakwah Islamiyah. Berdakwah dengan penuh hikmah. Tidak melakukan kekerasan, mengganggu ketertiban apalagi pembakaran terhadap fasilitas umum dan membunuh orang yang tidak bersalah. Selalu mengedepankan pendekatan persuasif dan kompromi dengan seruan yang menggembirakan. Singkatnya, berdakwah harus tegas, namun tidak mengedepankan kekerasan. Tidak boleh juga terlalu lembek sehingga agama Allah diinjak-injak dan disepelekan oleh pihak-pihak tertentu yang menaruh kebencian pada Islam.
Pada akhirnya, beragama dengan paham Islam Moderat menemukan dunianya di Nusantara. Siap menerima orang lain dalam kesamaan dan perbedaan. Toleran dengan agama lain, dengan tetap meyakini kebenaran agama Islam. Berkaitan dengan jargon Moderasi ini, Ikatan Cendikiawan Alumni Timur Tengah (ICATT) akan mengadakan Seminar Nasional dengan Tema “Merajut Islam Moderat; Upaya Pembumian Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin di Nusantara”. Pembicara yang hadir dalam acara ini, Prof. Dr. H.M. Qasim Mathar, MA. (Guru Besar Pemikiran UIN Alauddin Makassar), Dr. H. Abd. Rauf Amin, MA. (Doktor Usul Fiqh Universitas Al-Azhar Mesir), H. Muhammad Zaitun Rasmin, Lc (Ketua Umum DPP Wahdah Islamiyah Pusat) dan Dr. Lukman Arake, MA. (Doktor Politik Islam Universitas Al-Azhar Mesir). Seminar ini terbuka untuk umum dan akan dilaksanakan di Hotel UIN Alauddin pada hari Sabtu, 12 Mei 2012 dimulai pada pukul 08.30. (Darlis Dawing)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar