Terjadinya keragaman dalam pemahaman
keagamaan adalah sebuah fakta sejarah dalam Islam. Keragaman tersebut, salah
satunya, disebabkan oleh dialektika antara teks dan realitas itu sendiri, dan
cara pandang terhadap posisi akal dan wahyu dalam menyelesaikan satu masalah. Konsekuensi
logis dari kenyataan tersebut adalah munculnya terma-terma yang mengikut di
belakang kata Islam. Sebut misalanya, Islam Fundamental, Islam Liberal, Islam
Progresif, Islam Moderat, dan masih banyak label yang lain.
Islam pada dasarnya adalah agama universal, tidak terkotak-kotak
oleh label tertentu, hanya saja, cara pemahaman terhadap agama Islam itu
kemudian menghasilkan terma seperti di atas. Diterima atau tidak, itulah fakta
yang ada dewasa ini yang mempunyai akar sejarah yang kuat dalam khazanah Islam.
Fakta sejarah menyatakan bahwa embrio keberagamaan tersebut sudah ada sejak era
Rasulullah saw., yang kemudian semakin berkembang pada era sahabat, terlebih
khusus pada era Umar bin Khattab. Ia kerap kali berbeda pandangan dengan
sahabat-sahabat yang lain, bahkan mengeluarkan ijtihad yang secara sepintas
bertentangan dengan keputusan hukum yang ditetapkan oleh Rasululullah saw.
sendiri. Sebutlah misalnya, tidak membagikan harta rampasan kepada umat Islam
demi kemaslahatan umum (negara), yang jelas-jelas sebelumnya dibagikan oleh
Rasulullah melalui perintah teks Al-Qur’an (QS. Al-Anfal (8):
41).
Terus bagaimana seharusnya menyikapi kenyataan tersebut? Bagaimana
cara beragama yang paling baik dan ideal, khususnya di bumi Indonesia?
Tulisan ini tidak bertujuan untuk mengklaim kebenaran satu cara
pandang beragama dan menyalahkan cara yang lain. Sekali lagi, keberagamaan itu
adalah sebuah kemestian. Namun tulisan ini mencoba untuk melihat dampak dan
pengaruh cara pandang tersebut terhadap kondisi keberagamaan umat Islam,
khususnya di Nusantara.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa keberagaman dalam beragama
disebabkan oleh cara memosisikan akal dan wahyu, realitas dan teks dalam
menyelesaikan satu masalah. Kelompok yang memberikan porsi berlebihan pada
teks, namun menutup mata dari perkembangan realitas cenderung menghasilkan
pemahaman yang tekstual. Semangat penerapan hukum-hukum agama dalam kondisi
apapun sangat besar sekali. Apa yang tertera dalam teks (Al-Qur’an dan Hadis)
harus aplikasikan dalam dewasa ini, sebagai
bentuk ittiba’ kepada orang salaf (Rasulullah, sahabat, dan
tabiin), meski dalam kondisi tertentu kurang mengapresiasi realitas sosial kemasyarakatan
yang ada.
Sebaliknya, ada sebagian kelompok terlalu memberikan porsi lebih
pada akal atau realitas dalam memahami sebuah permasalahan. Sehingga, dalam
pengambilan sebuah keputusan, kelompok ini justru sangat menekankan pada
realitas dan memberikan ruang yang bebas terhadap akal. Yang terjadi adalah
sebaliknya, kelompok ini sangat konstekstual dan terkadang kurang
mempertimbangkan otoritas teks. Keduanya hadir pada posisi berlebihan.
Pengaruh dua kecenderungan pemahaman di atas pun berdampak luar
biasa pada cara beragama umat Islam dewasa ini. Munculnya gerakan-gerakan
anarkis dan ekstrim di Nusantara, misalnya pembunuhan, bom bunuh diri, selain
disebabkan oleh alasan politik-ekonomi, juga dipengaruhi oleh cara pandang yang
sangat tekstual terhadap Al-Qur’an dan Hadis. Sebaliknya, kebebasan akal yang berlebihan
dan tanpa batas acapkali berujung pada penabrakan teks-teks yang Qat’i,
yang pada akhirnya dengan gegabah menawarkan pemikiran-pemikiran yang
bertentangan dengan pemahaman yang sudah mapan. Bahkan terkadang mencoba mengotak-atik
ajaran-ajaran fundamental yang bersifat ta’abbudi (Ilahi) dengan dalih
asas kebebasan dan kemanusiaan.
Ilustrasi di atas menandaskan bahwa kedua cara pandang tersebut
sama-sama berada pada titik ekstrim dan over. Dampaknya pun sama-sama ekstrim; kelompok
pertama bentuk ekstrimnya tampak dan nyata dalam gerakan yang berujung pada
anarkisme yang menganggu kenyamanan masyarakat bahkan stabilitas keamanan
nasional. Di sisi lain, kelompok overkontekstual, berada pada bentuk ektrim
yang lain. Ia lebih lembut, namun tak kalah besar pengaruhnya dalam masyarakat.
Karena dapat mengaburkan ajaran-ajaran agama yang sangat mendasar, yang absolut
kemudian berubah menjadi relatif. Tidak ada kemudian ulama dan institusi yang
dipercaya bisa mengeluarkan fatwa. Semuanya bebas berijtihad tanpa
mempersoalkan background pendidikannya.
Dengan demikian, kedua cara pandang beragama di atas kurang ideal,
khususnya dalam konteks keindonesaan. Alasannya sangat sederhana, Islam adalah
agama rahmat seluruh alam semesta. Agama rahmat tidak berada pada titik ekstrim
dan over (berlebihan: tatharruf). Islam selalu hadir dengan solusi
representatif yang dapat diterima oleh akal sehat dan fitrah manusia, karena Islam
adalah agama fitrah.
Maka dari itu, pemahaman yang berada di tengah kedua corak
pemahaman di atas menjadi sebuah kemestian, apalagi dalam konteks keindonesiaan
yang sangat mejemuk. Pemahaman yang berada di tengah-tengah sebenarnya menjadi
esensi agama Islam itu sendiri. Dalam sejarahnya, agama Islam datang sebagai
penyeimbang agama-agama sebelumnya; agama Yahudi dan Nasrani. Agama Yahudi
berada pada titik yang sangat keras, sebaliknya agama Nasrani berada pada titik
yang sangat lembek. Dalam kasus qisas, agama Yahudi menyatakan jika
seorang ditampar sekali, maka dia harus membalas dua kali tamparan. Sebaliknya
dalam agama Kristen, jika seorang ditampar pipi kanannya maka ia dianjurkan
memberikan pipi kirinya untuk ditampar lagi. Beda halnya dalam Islam, kasus qisas,
misalnya membunuh seorang maka dia juga harus dibunuh sebagai qisas
(balasan sepadan), tapi memaafkan pelaku adalah sikap yang lebih baik. Demikian
bentuk kemoderatan Islam.
Islam Moderat sebagai Pilihan
Kata moderat dalam bahasa Arab dikenal dengan al-wasathiyah. Dalam Al-Qur’an merupakan kata yang terekam
dari QS. al-Baqarah(2): 143. Kata al-Wasath
dalam ayat tersebut, bermakna terbaik dan paling sempurna. Dalam hadis yang
sangat populer juga disebutkan bahwa sebaik-baik persoalan adalah yang berada
di tengah-tengah. Dalam artian dalam melihat dan menyelesaikan satu persoalan,
Islam moderat mencoba melakukan pendekatan kompromi dan berada di
tengah-tengah, begitupula dalam menyikapi sebuah perbedaan, baik perbedaan
agama ataupun mazhab, Islam moderat selalu mengedepankan sikap toleransi,
saling menghargai, dengan tetap meyakini kebenaran keyakinan masing-masing
agama dan mazhab. Sehingga semua dapat menerima keputusan dengan kepala dingin,
tanpa harus terlibat dalam aksi yang anarkis.
Oleh karena itu, paham Islam Moderat merupakan ajaran yang mesti
dibumikan di Nusantara. Ia sangat representatif memberikan jawaban dan solusi
terhadap seluruh permasalahan yang dihadapi umat Islam dewasa ini. Ia tidak
terlalu ekstrim ke kanan, dalam hal ini overtekstual, tapi juga tidak terlalu
ekstrim ke kiri, dalam artian overkonstekstual. Islam moderat selalu mengedepankan
keseimbangan antara teks dan konteks, antara wahyu dan akal. Karena keduanya
adalah kebenaran yang bersumber dari Tuhan. Mengabaikan salah satunya berarti
meninggalkan sebagian kebenaran Tuhan.
Kemoderatan Islam tersebut kemudian terekam juga dalam berbagai
disiplin ilmu; akidah, fiqh, tafsir, pemikiran, tasawwuf dan dakwah. Dalam ilmu
akidah (teologi), Islam Moderat direpsentasikan oleh aliran al-Asy’ariyah.
Aliran yang menengahi antara Muktazilah yang sangat rasional dengan Salafiah
dan Hanabilah yang sangat tekstual. Keduanya sama-sama berada pada titik
“ekstrim”. Rasionalitas yang berlebihan acapkali mengaburkan kejernihan akidah
Islam, sebaliknya tekstualitas yang berlebihan bisa saja menyebabkan kejumudan
dalam berijtihad.
Begitupula dalam ilmu syariah, kemoderatan Islam pun harus
digalakkan. Dalam hal ini, dialektika antara teks dan realitas selalu berjalan
lurus dalam mengeluarkan sebuah hukum, karena maksud Tuhan yang tertuang dalam
Al-Qur’an dan Hadis tak pernah bersebrangan dengan kemaslahatan umat manusia. Karenanya,
kontekstualisasi, subtansialisasi dan rasionalisasi teks menjadi penting dalam
proses berijtihad.
Hal yang sama juga terjadi dalam ilmu tafsir, seorang penafsir
harus mengkontekstualkan Al-Qur’an dengan dirinya sendiri, dalam artian,
menemukan makna asli teks melalui kajian bahasa dan sebab turun ayat serta
kondisi kemasyarakatan secara umum pada saat turunnya sebuah ayat. Sementara
langkah kedua, yaitu mengkontekstualkan Al-Qur’an dengan dunia kontemporer
dewasa ini. Dalam hal itu, makna asli teks Al-Qur’an dihubungkan dengan konteks
sekarang melalui langkah rasionalisasi. Dengan prinsip ini, penafsiran
Al-Qur’an tidak kaku karena mempertautkan dengan realitas sekarang, dan juga
tidak terlalu liberal karena tetap berangkat dari pemahaman yang kuat terhadap
makna asli teks Al-Qur’an.
Sementara, sisi kemoderatan dalam pemikiran Islam adalah
mengedepankan sikap toleran dalam perbedaan. Keterbukaan menerima keberagamaan
(red:inklusivisme). Baik beragam dalam mazhab maupun beragam dalam beragama.
Perbedaan tidak menghalangi untuk menjalin kerja sama, dengan asas kemanusiaan.
Meyakini agama Islam yang paling benar, tidak berarti harus melecehkan agama
orang lain. Sehingga akan terjadilah persaudaraan dan persatuan anatar agama,
sebagaimana yang pernah terjadi di Madinah di bawah komando Rasulullah Saw.
Selain di atas, Islam Moderat juga nampak dalam wilayah Tasawwuf.
Dalam pada itu, konsep ajaran esoterik yang termanifestasi dalam spritual
sufistik tidak berarti negatif sebagaimana banyak dipahami orang, seperti
kekumuhan, kekurangan, kemiskinan dan lain-lain, tapi sufi moderat adalah orang
yang selalu menghadirkan nilai-nilai ketuhanan dalam tiap langkahnya. Praktik
kehidupan spiritualitas sufistik moderat adalah membangun kehidupan yang penuh
dengan kebahagiaan yaitu; kebahagiaan qalbiyah yakni dengan
makrifatullah melalui akhlak karimah, serta kebahagian jasminiah dengan
kesehatan serta pemenuhan kebutuhan yang bersifat material.
Terakhir adalah moderat dalam dakwah Islamiyah. Berdakwah dengan
penuh hikmah. Tidak melakukan kekerasan, mengganggu ketertiban apalagi pembakaran terhadap fasilitas umum dan membunuh orang yang
tidak bersalah. Selalu mengedepankan pendekatan persuasif dan
kompromi dengan seruan yang menggembirakan. Singkatnya, berdakwah harus tegas,
namun tidak mengedepankan kekerasan. Tidak boleh juga terlalu lembek sehingga
agama Allah diinjak-injak dan disepelekan oleh pihak-pihak tertentu yang
menaruh kebencian pada Islam.
Pada akhirnya, beragama dengan paham Islam Moderat menemukan
dunianya di Nusantara. Siap menerima orang lain dalam kesamaan dan perbedaan.
Toleran dengan agama lain, dengan tetap meyakini kebenaran agama Islam. Berkaitan dengan jargon Moderasi ini, Ikatan Cendikiawan Alumni Timur Tengah (ICATT) akan mengadakan Seminar Nasional dengan
Tema “Merajut Islam Moderat; Upaya
Pembumian Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin di Nusantara”. Pembicara yang hadir
dalam acara ini, Prof. Dr. H.M.
Qasim Mathar, MA. (Guru Besar Pemikiran UIN Alauddin Makassar), Dr. H. Abd.
Rauf Amin, MA. (Doktor Usul Fiqh Universitas Al-Azhar Mesir), H. Muhammad
Zaitun Rasmin, Lc (Ketua Umum DPP Wahdah Islamiyah Pusat) dan Dr. Lukman Arake, MA.
(Doktor Politik Islam Universitas Al-Azhar Mesir). Seminar ini terbuka untuk umum dan akan dilaksanakan
di Hotel UIN Alauddin pada hari Sabtu, 12 Mei 2012 dimulai pada pukul 08.30. (Darlis Dawing)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar